Yang Tak Lagi Hijau: Lapangan Bola dan Omong Kosong Ruang Kota dalam Bola Raya

Gregorius TH Manurung
6 min readJun 24, 2022

--

Sumber: Reuters/Andres Martinez Casares

(Sebelumnya dimuat di Highvoltamedia.com, 24 Septermber 2021: https://highvoltamedia.com/yang-tak-lagi-hijau-lapangan-bola-dan-omong-kosong-ruang-kota-dalam-bola-raya/)

Mendengar album Dosa, Kota, dan Kenangan (2015) milik Silampukau menghasilkan perasaan yang janggal. Ia secara khusus membahas kota Surabaya, tetapi juga terasa begitu dekat ketika didengarkan secara seksama.

Album Dosa, Kota, dan Kenangan seperti ode dari Silampukau untuk Surabaya. Banyak lokasi spesifik di Surabaya yang dinarasikan; lokalisasi Dolly dalam “Si Pelanggan”, Taman Remaja dalam “Bianglala”, Bandara Juanda dalam “Puan Kelana”, hingga peta kota dalam “Sang Juragan”. Setiap tempat disuntikkan emosi seorang manusia yang membuat ruang itu hidup, selain juga dinarasikan dengan apik dalam lirik-lirik yang sesekali menginjam ejaan lama.

Selain membahas lokasi-lokasi spesifik Surabaya, Silampukau menangkap yang-tak-nampak dari sebuah kota. Ada tangkapan lanskap psikologis lewat kegelisahan dari kehidupan sehari-hari warga kota dalam “Balada Harian”, “Lagu Rantau (Sambat Omah)”, dan “Aku Duduk Menanti”.

Ketika lagu-lagu ini dibuat dengan membayangkan Surabaya, tetapi menghadirkan kedekatan bagi pendengar dari kota lain, di sanalah kehebatan Silampukau. Ia tidak hanya memotret wajah kota secara fisik, tetapi juga menangkap apa yang ada di baliknya. Meskipun kota seringkali dibincangkan dalam urusan tata fisik, estetika bangunan, atau infrastruktur, urusan kota adalah urusan mental dan sosial — atau kalau mau lebih spesifik, konflik sosial.

Hal-hal di balik kefisikan kota itu tersampaikan dengan lugas dalam nomor “Bola Raya”, track keempat album Dosa, Kota, dan Kenangan.

Dalam “Bola Raya”, lapangan bola jalanan menjadi metafora atas ruang. Ruang yang terkesan tidak signifikan dalam pembangunan kota ini, menangkap dengan jelas ketegangan yang terjadi dalam ruang, seperti yang diungkapkan filsuf dan sosiolog asal Prancis, Henri Lefebvre.

Bagi Lefebvre, tidak ada ruang yang ideal dalam masyarakat modern saat ini. Hal itu disebabkan ruang akan selalu diperebutkan oleh aktor-aktor yang berkepentingan atasnya. Kepentingan itu berupa dominasi atas pemanfaatan ruang sesuai kebutuhan mereka. Perebutan terjadi karena ruang diproduksi secara sosial. Artinya, ruang diberikan makna oleh aktor (individu maupun kolektif) melalui praktik-praktik dan relasi sosial yang ada dalam ruang.

Bagi Lefebvre, untuk melihat perebutan dan pemaknaan atas ruang, terdapat tiga konsepsi yang perlu dilihat, yaitu praktik spasial, representasi ruang, dan ruang representasional. Tiga konsepsi ini berhubungan secara dialektis dalam membentuk ruang.

Membicarakan secara (agak) utuh tiga konsepsi tersebut akan memakan waktu 41 SKS perkuliahan. Sederhananya, Praktik Spasial adalah praktik dan interaksi sosial sehari-hari para penghuni ruang. Representasi Ruang adalahperwakilan dari ruang yang mewujud dalam tanda, simbol, citra, dan pengetahuan yang ada di dalam dan sekitar ruang; perwakilan itu mewakili konsep atas ruang yang dibuat oleh aktor yang berkepentingan. Ruang Representasional adalah bentuk interaksi dari aktor penghuni ruang dengan ruang itu sendiri (termasuk juga dengan representasi ruang yang ada di dalamnya). Interaksi tersebut menimbulkan persepsi atas ruang yang ia tempati dalam benak aktor-aktor di dalam ruang (di sini ruang berhubungan dengan mental).

Sebagai seorang Marxis, Lefebvre juga menyatakan bahwa ruang tidak pernah terlepas dari moda produksi yang berlaku. Maka dari itu, dalam melihat ruang, perlu juga dilihat mode produksi yang berlaku dalam satu waktu dan ruang tertentu. Dari sana, moda produksi juga memengaruhi relasi dan interaksi sosial dalam ruang, dan pada saat yang sama akan memengaruhi bagaimana ruang diproduksi.

Dengan memasukkan unsur moda produksi, yang mana saat ini adalah kapitalisme, dapat dilihat bahwa ruang dikonsepkan sebagai lokasi produksi juga sebagai komoditas. Ruang dijadikan sebagai alat penyokong akumulasi kapital dalam sistem kapitalisme yang menuntut modal dan profit terus diakumulasi — kepentingan dari sepasang kekasih negara dan korporasi.

Bola Raya,Lagu Ritual Pembangkit Lefebvre

Kami rindu lapangan yang hijau

Harus sewa dengan harga tak terjangkau

Tanah lapang kami berganti gedung

Mereka ambil untung, kami yang buntung

Keterhubungan antara “Bola Raya” dengan Lefebvre muncul sebab dalam lagu ini ada ruang yang hilang. Lewat empat baris tersebut, Silampukau menghadirkan konflik dalam ruang dengan gamblang. Ada ruang yang hilang dalam empat baris di atas, hilang dari keseharian si “kami” dan hilang dari memori mereka. Tidak sebatas hilang, bahkan ruang tersebut telah berganti menjadi sesuatu yang baru, yang sepenuhnya asing bagi mereka dan membuat “kami” terasing.

Dari ruang yang hilang dapat dilihat adanya perbedaan konsepsi atas sebuah ruang, perbedaan konsepsi milik “kami” dan milik kita-tahu-siapa. Ruang yang mewujud dalam lapangan hijau yang biasa dipakai gratis oleh warga sekitar dalam menjalani kesenangan mereka, tidak dilihat sama oleh pemerintah dan korporasi; ruang yang digunakan sebatas untuk hidup, tidak akan berguna jika tidak digunakan secara optimal untuk akumulasi kapital.

Konflik lalu terjadi. Sialnya, mereka yang berkonflik ini berdiri dalam kondisi yang tidak setara; kekuatan dan akses yang mereka miliki timpang, sehingga pertarungan perebutan ini terasa seperti pertarungan yang sudah diketahui pemenangnya.

Selain itu, ada hal menarik dalam lirik yang dihadirkan Silampukau. Jika kita bayangkan luas lapangan hijau untuk bermain bola tarkam atau pertandingan antar tongkrongan, nampaknya yang muncul adalah sepetak kecil lapangan yang tidak sampai seluas lapangan sepakbola profesional. Sementara itu, untuk sebuah gedung yang dibangun dari penggusuran, luas lahan yang dibutuhkan pasti besar, entah itu untuk gedung, tempat parkir, pos keamanan, dll. “Tanah lapang kami berganti gedung” membawa pada imajinasi bahwa ada ruang yang lebih luas yang akan (atau bahkan sudah) direbut juga.

Salah satu kekuatan yang dimiliki oleh negara dan korporasi adalah pengetahuan, yang juga adalah bagian dari Representasi Ruang. Pengetahuan digunakan untuk mengakomodasi kepentingan negara dan korporasi dalam memanfaatkan ruang. Pengetahuan yang diproduksi ini, ditambah dengan kekuasaan mereka, akan menimbulkan “penguasaan” atas warga secara tidak langsung. Persepsi atas ruang yang dilatari motif “penguasaan” terbentuk lewat pengetahuan yang diproduksi ini.

Dalam membahas produksi pengetahuan ini, Silampukau menuliskan lewat dua kalimat;

Kami tak paham soal akta, sertifikat tanah dan omong kosong lainnya

Kami hanya ingin main bola, sonder digugat, sonder didakwa

Pembahasan soal penggusuran, konflik agraria, dan pertarungan atas ruang lainnya seringkali bermuara pada “Mereka punya sertifikat tanah atau tidak?”. Wacana ini terus menggaung pada ruang-ruang publik juga media sosial ketika kasus penggusuran muncul.

“Warga negara yang baik” pasti akan terkejut ketika mendengar dua kalimat di atas sebab aturan dan hukum kepemilikan tanah yang diatur dalam sertifikat dan akta adalah untuk ketertiban dan kenyamanan bersama. Padahal, terdapat motif ideologis di sana. Akta dan sertifikat adalah produk pengetahuan atas ruang yang, jika kita melihat pemaparan Lefebvre, hadir untuk mengakomodasi kepentingan negara dan korporasi dalam memanfaatkan ruang, yang tentu saja, jauh dari kepentingan warga sendiri.

Lebih mengerikan lagi, ketika melihat relasi-kuasa yang ada antara negara dan warga, sertifikat dan akta menjadi tidak berguna sama sekali sebab dapat dihilangkan atau dicabut dengan mudah saja oleh pembuatnya sendiri.

Sedikit Penutup

Baik teori ruang Lefebvre maupun lirik “Bola Raya” meyisakan satu lubang: sejak ruang tidak pernah ideal, maka tidak pernah ada pemilik sah atas ruang, bukan? Lalu, tidak pernah pula ada tindakan yang senyata-nyatanya benar atau salah soal ruang, semua tindakan perebutan ruang yang dilakukan siapapun (warga, negara, aparat, korporasi, dll) adalah sah-sah saja?

Nampaknya, dari segala kerumitan yang ditulis Lefebvre dan keterkejutan yang dinyanyikan Silampukau, mereka menyiratkan dua hal: kesadaran atas posisi diri dan keberpihakan.

Dalam arena perebutan ruang yang terjadi dan kategorisasi aktor, bukannya tidak mungkin kita akan terkena imbas juga. Sejak ruang yang bagi kita adalah ruang hidup dikonsepkan sebatas bagian dari akumulasi kapital, tidak ada kesempatan untuk sepenuhnya aman hidup dalam sebuah ruang. Kesadaran atas kondisi dan posisi diri dalam arena perebutan ruang tersebut adalah bagian yang disisakan Lefebvre untuk kita renungkan kembali.

Nampaknya Silampukau tahu benar soal itu. Lewat menggunakan kata “kami” mereka secara tidak langsung memosisikan diri dalam kelompok yang rentan dalam arena perebutan ruang, juga kelompok yang memiliki persepsi berbeda atas ruang dari urusan akumulasi kapital. Hal ini semakin kuat jika kita melihat lirik “Doa 1” soal kerentanan hidup seorang musisi, selayaknya para personil Silampukau.

Dalam sebuah video wawancara dengan Sorge Magazine, Silampukau juga menyebut bahwa mereka memang menarasikan obrolan orang-orang kecil di warung kopi. Soal keseharian dan kegelisahan sehari-hari orang-orang kecil itu yang akhirnya dinarasikan dalam lagu-lagu Silampukau. Bisa disebut, ini adalah pernyataan tidak langsung atas keberpihakan Silampukau pada orang-orang kecil. Pemahaman atas posisi diri itu juga akan membawa pada keberpihakan. Sejak salah benar adalah kabur, memilih keberpihakan menjadi tugas bagi siapapun yang mengaku hidup. Pemahaman atas kondisi diri dan orang-orang sekitar yang rentan, yang berarti bisa kapan saja dilindas bulldozer pemkot, membuat kita bisa bersolidaritas pada diri sendiri juga pada mereka yang tergusur dan tercabut dari ruang hidupnya. Entah mereka yang kehilangan lapangan bola di Surabaya, kehilangan rumah di Tamansari, Pakel, Wadas, Kendeng, juga Gang Buntu Pancoran di Jakarta.

--

--