THE POST: CARA ASYIK MENERTAWAKAN PERS HARI INI

Gregorius TH Manurung
4 min readAug 28, 2021

--

Sumber: IMDb

Sampai hari ini saya masih berpikir menjadi jurnalis adalah profesi yang keren. Saya selalu membayangkan seorang dengan air muka serius, membawa nametag bertuliskan “PERS” yang diikuti foto dan nama kantor berita, membawa catatan kecil dan bolpoin, lalu merasa menjadi pahlawan. Apalagi beberapa tokoh pahlawan super berprofesi sebagai jurnalis, seperti Superman dan Spiderman.

Salah satu yang saya idamkan dari menjadi jurnalis adalah menghasilkan sebuah laporan yang dapat mengguncang dunia. Seperti yang laporan investigasi Washington Post tentang Pentagon Papers dalam film The Post (2017). Sebenarnya laporan tentang dokumen rahasia pemerintah Amerika Serikat yang membahas Perang Vietnam itu salah satu bagiannya telah dipublikasikan oleh kompetitor Washington Post yang juga menjadi salah satu koran terbesar saat ini, New York Times.

Hal tersebut membuat Benjamin Braddle (Tom Hanks), editor eksekutif Washington Post, cukup geram. Bayangkan, ketika New York Times mengabarkan kebohongan pemerintah selama tiga dekade tentang Perang Vietnam, Washington Posthanya menaruh berita tentang pernikahan puteri Presiden Richard Nixon. Hal itu membuat Braddle mencari seribu cara untuk mengakses dokumen rahasia 7.000 lembar itu untuk membongkar kebohongan-kebohongan lain pemerintah.

Pentagon Papers adalah dokumen super rahasia pemerintah AS tentang tindak-tanduk mereka selama Perang Vietnam. Mengapa menjadi super rahasia? Karena ternyata, ratusan ribu manusia yang dikirim berperang dengan embel-embel nasionalisme, perdamaian dunia, dan segala urusan negara lainnya adalah bohong. Inti pengiriman para pemuda AS itu adalah untuk membuat citra AS yang waktu itu sebagai negara adidaya tidak jatuh karena mereka kalah dari negara kecil — komunis pula — seperti Vietnam Utara. Perilisan laporan tentang dokumen ini pula yang membentuk gelombang anti-perang dan gerakan hippies semakin masif di Amerika Serikat.

New York Times mendapatkan dokumen super rahasia tersebut dari mantan analis militer, Daniel Ellsberg (Matthew Rhys). Daniel mengambil secara diam-diam dokumen tersebut dari RAND Corporation, sebuah think-tank riset militer Amerika Serikat dan tempat ia bekerja, lalu memberikannya pada wartawan New York Times, Neil Sheehan.

Namun, naas untuk New York Times. Richard Nixon yang terkenal tanpa ampun itu memutuskan untuk membawa New York Times ke pengadilan dengan tuduhan spionase karena mempublikasikan dokumen super rahasia tersebut.

Hal tersebut adalah kabar gembira dan kabar buruk bagi Washington Post. Kabar gembira karena mereka kehilangan kompetitor besarnya. Kabar buruk karena Braddle masih berhasrat untuk mengungkap kisah lain dalam 7.000 halaman dokumen rahasia tersebut. Namun siapa sangka, salah satu anggota redaksi Washington Post, Ben Bagdikian (Bob Odenkirk), ternyata adalah teman dari Daniel Ellsberg dan ia mendapatkan salinan 4.000 halaman dari Pentagon Papers.

Di sisi lain, Katherine Graham (Meryl Streep), pemimpin umum Washington Post, sedang kebingungan bagaimana memimpin Washington Post. Kay, nama panggilan Katherin, baru menjadi pemimpin umum setelah pemimpin umum sebelumnya, suami Kay, meninggal. Kay belum pernah memimpin sebuah perusahaan. Kebingungan ini yang menjadi konflik utama dari The Post.

Jika Spotlight (2016), lebih banyak mengekspos tentang kerja-kerja dan lika-liku investigasi para wartawan Boston Globemembongkar kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh para pastur di Boston, The Post mengekspos keributan dan kerumitan dalam mengambil keputusan di meja redaksi.

Kay yang masih gamang dan sering bergantung pada pendapat Arthur dan Fritz, para penasihat bisnisnya, mendapat pilihan sulit ketika Braddle menyatakan memiliki the Papers. Kay dan Washington Post akan kehilangan banyak investor jika memuat berita yang berisiko super tinggi itu. Belum lagi, beberapa investor Washington Post adalah perusahaan publik yang didanai pemerintah.

Yang lebih merumitkan adalah Kay memiliki teman-teman yang memiliki andil pada Perang Vietnam. Mulai dari Presiden Lyndon, Kennedy, hingga kawan dekatnya yang masih akrab, Robert McNamara.

Namun, pada akhirnya, Kay menemukan keberanian dan alasan untuk menerbitkan laporan atas dokumen rahasia itu meskipun mesti berhadapan dengan pengadilan dan pemerintah — juga para penasihat bisnisnya.

Film ini seakan memperlihatkan kepada kita bagaimana media — dan, tentu saja, negara — bekerja.

Dalam buku Agama Saya Jurnalisme, Andreas Harsono, jurnalis senior Indonesia, menuliskan bahwa Bill Kovach, jurnalis yang menulis buku Sembilan Elemen Jurnalisme dan orang yang dijuluki “hati nurani jurnalisme Amerika” pernah mengatakan bahwa interaksi media dengan pengiklan tidak boleh mengganggu hubungan unik antara media dengan para pembacanya.

Hubungan antara media dengan publik adalah unik sebab pada kenyataannya publik bukanlah “pelanggan” dari media. Pelanggan dari media adalah pengiklan. Meskipun pengiklan adalah pelanggan dari media, nyatanya layanan iklan hadir karena adanya kepercayaan publik kepada media.

Jika hubungan media dan pengiklan dominan dan membuat hubungan media dan publik berkurang, maka terjadi kesalahan besar dalam pengoperasian media, media seakan tercabut dari akarnya. Dan, tentu saja, hal tersebut patut ditertawakan. Seperti halnya ketika salah satu kantor berita di Indonesia yang menarik berita karena “mengkritik” salah satu pengiklannya setelah berita itu terbit.

Saya rasa para pemimpin media tersebut perlu mendengar lagu milik Nasida Ria berjudul “Wartawan Ratu Dunia”:

Ratu dunia ratu dunia, oh wartawan ratu dunia

Apa saja kata wartawan mempengaruhi pembaca koran

Belum lagi praktik lucu lainnya yang dilakukan media kita saat ini, seperti menyuruh para jurnalisnya membawa proposal iklan saat meliput. Siapa yang tidak tertawa — dengan getir — melihat praktik seperti ini?

Namun, film ini bukanlah pilihan baik bagi Anda yang sedang penat dengan kehidupan sehari-hari dan hendak mencari hiburan. Apalagi bagi Anda yang menyukai film yang diisi ledakan di sana sini dan pemeran utama yang hobinya jumpalitan atau film yang membuat Anda mengeluarkan uang untuk menangis, sungguh Anda akan mengantuk lalu tidur sejak kesempatan pertama. Bayangkan saja sebuah film yang berisi pembicaraan editor koran dengan pemilik perusahaannya, kenangan bersama pejabat negara, lalu perdebatan di meja redaksi juga omong kosong yang sering dikeluarkan para pemimpin negara. Kecuali bagi Anda yang sangat serius, bahkan bisa melihat bahwa botol kecap yang tersenggol lalu jatuh memiliki motif ideologis, mungkin film ini akan menjadi tontonan yang menarik bagi Anda.

(Sebelumnya pernah terbit di situs web Nyimpang.com pada 19 Juni 2018)

--

--