Tentang Single Debut Deras, Unit Pop Kreatif Anyar dari Semarang*

Gregorius TH Manurung
3 min readNov 12, 2021

--

Beberapa tahun belakangan, “Plastic Love” milik Mariya Takeuchi dan “Stay With Me” dari Miki Matsubara menyeruak ke setiap gawai yang memutar musik. Mulai dari layanan digital streaming macam Spotify dan Youtube hingga konten-konten TikTok, semua dikuasai oleh musik Jepang yang kembali dari tahun 1980-an ini.

Musik yang disebut city-pop ini bangkit dari lemari arsip.

Di kancah lokal, musik city-pop mendapat podium juga. Di internet, banyak yang membuat playlist/mixtape dengan embel-embel “City Pop Indonesia”. Orang-orang mulai mengunjungi lagi rekaman-rekaman dengan nuansa sama, atau yang lebih dikenal dengan istilah Pop Kreatif, seperti milik Chrisye, Fariz RM, Candra Darusman, dan Hotel San Vicente. Beberapa bahkan dirilis ulang dalam bentuk piringan hitam — meski ada yang hadir dengan kualitas menyebalkan.

Beragam grup dan solois baru yang mengambil nuansa musik ini juga bermunculan; Dream Coterie, ikkubaru, dan Coldiac, juga rilisan-rilisan remix dari Pablo Cikaso mengukuhkan trend ini. Terkahir. kompilasi Musik Baru Dari Masa Lalu garapan Irama Nusantara dan beberapa musikus lokal cukup menarik perhatian.

Nampaknya benar ucap Simon Reynolds, kritikus musik dan budaya populer asal Inggris, dalam buku Retromania: Pop Culture’s Addiction to Its Own Past; bahwa budaya populer selalu mendaur ulang masa lalunya. Kondisi ini dapat terjadi akibat sokongan internet yang membuat siapapun mudah menjadi arkeolog musik.

Gelombang Pop Kreatif Revival sampai ke Semarang. Unit pop baru asal Semarang, Deras, baru saja merilis single debut-nya dengan tajuk “Fana”.

Ciri khas Pop Kreatif muncul dalam “Fana”; cabikan bass funky yang menjadi tulang punggung lagu, kocokan gitar “pilek” yang malu-malu, juga permainan synthesizer dan saxophone yang membawa nuansa retro. Untuk disebut Pop Kreatif, lagu ini sangatlah mempuni.

Ada nuansa 80-an yang hadir dalam “Fana”. Mungkin tidak seperti city-pop yang sangat lanskap; membawa imaji pada pengalaman berkendara perlahan di malam hari sambil dibanjiri kelap-kelip metropolitan dari beton-beton bertingat, tetapi komposisi “Fana” mampu membawa aura “lampau” juga menuntun pendengar untuk berjoget ria, sambil tetap merasa dihujani kelap-kelip lampu disko.

Satu hal yang menarik dari single “Fana” adalah penggunaan lirik berbahasa Indonesia secara menyeluruh. Jika ditilik lagi, musik city-pop asal Jepang memiliki pola penulisan lirik campur bahasa. Selalu ada selipan kalimat, klausa, atau frasa berbahasa Inggris dalam lirik yang didominasi bahasa Jepang ini. Hal ini semacam penanda sifat kosmopolitan dalam gaya hidup urban dan praktik konsumsi budaya populer masyarakat Jepang yang menjadi latar sosial kehadiran musik ini.

Di kancah lokal, kebanyakan musikus baru yang mengambil nuansa city-pop/ Pop Kreatif menulis lagu (bahkan nama grup) dalam bahasa Inggris. Bahkan, grup ikkubaru memainkan satu lagu berbahasa Jepang. Sementara itu, Deras memilih menggunakan bahasa Indonesia sepenuhnya dalam lirik “Fana”. Mungkin ini menjadi “ganjil” dari kebanyakan Pop Kreatif Revivalis lainnya, tetapi juga bisa dilihat sebagai ciri khas dari Deras dibanding sejawat Pop Kreatif Revivalis lain. Semoga saja penulisan lirik berbahasa Indonesia bisa dipertahankan dan terus dieksplorasi oleh Deras.

Pemilihan penggunaan bahasa Indonesia sebagai lirik ini, secara tidak langsung, mengingatkan pada para dedengkot Pop Kreatif Indonesia era 80-an, seperti Candra Darusman, Chrisye, dan Fariz RM. Mereka menulis lirik dalam bahasa Indonesia dengan struktur kalimat dan diksi yang khas — bahkan menjadi aliran tersendiri dalam penulisan lirik di Indonesia. Kehebatan mereka adalah memilih kata yang bisa nikmat secara bunyi, tetapi tidak terdengar dipaksakan ketika pendengar mencoba menangkap makna setiap kata. Jika tidak percaya, coba saja dengar album Indahnya Sepi (1981) dan Kekagumanku (1983) milik Candra Darusman.

Lirik dalam “Fana” cukup mudah dicerna. Tema yang diangkat masih tema paling klise dalam musik Pop Kreatif; asmara. Aku-lirik dalam “Fana” terjebak dalam cinta satu arah akan seseorang yang tak ia miliki. Bagian yang cukup menarik dari lirik ini adalah dua baris penutup:

Kau tak layak untukku

Cintaku tulus namun kuingin ia yang terbaik

Banyak orang yang terjebak dalam cinta satu arah atau hubungan manipulatif yang beracun. Efeknya, tentu saja, membuat kita hidup dalam kesengsaraan, tetapi tetap kita jalani sebab tidak sepenuhnya sadar. Seperti hidup dalam penjara yang tampak menyenangkan.

Untuk bisa lepas, titik tolaknya adalah sadar bahwa kita sedang berada dalam hubungan yang membahayakan dan tidak sehat, juga percaya bahwa kita layak mendapatkan yang terbaik untuk diri kita sendiri. Lalu setelah itu, dengan yakin kita melantangkan “Kau tak layak untukku.”

Melepaskan diri dari kondisi seperti ini memang pekerjaan yang luar biasa sulit dan melelahkan. “Sadar” memanglah sulit ketika berada dalam hubungan yang manipulatif. Seringkali kita perlu disadarkan oleh orang lain yang dekat dengan kita. Atau mungkin, lewat lagu yang menuliskan kondisi hubungan manipulatif dan mengajak kita untuk meninggalkannya, seperti single “Fana” ini.

*Tulisan ini bagian dari praktik WPMS (Wadah Penulis Musik Semarang), kolektif yang rutin menyiarkan musik dari para musikus Semarang.

--

--