Musik dan Kegilaan

Gregorius TH Manurung
5 min readAug 29, 2021

--

Sumber: Mojokstore.com

(Sebelumnya pernah dimuat di situs Ideide.id pada 20 Oktober 2020. Pranala: https://ideide.id/musik-dan-kegilaan.html)

Dalam penggunaannya, kata gila (selayaknya kata sifat lain) memiliki beragam makna. Pernyataan “Gila ni orang!” bisa berarti orang itu adalah orang dengan sudut pandang, pemikiran, atau praktik hidup yang keluar dari keumuman, atau memang tidak waras.

“Gila” juga bisa menjadi pemakluman. Pemakluman atas tindakan absurd yang dilakukan seseorang karena dia adalah “orang gila”. Namun, seringkali gila mendahului maklum. Kita dibuat merinding terlebih dahulu saat melihat tindakan meminum air seni sendiri atau membakar patung raksasa di tengah galeri seni mewah, sebelum menyatakan “Gila ni orang”.

Kegilaan seperti itulah yang dihadirkan dalam buku Madness Belong to All: Catatan Ganjil Musik Abad 20 karya Aliyuna Pratisti.

Ketika mahasiswa, Aliyuna keranjingan musik dan sering merasa mengetahui lebih dari teman sebaya. Namun, semua berubah ketika ia mengunjungi Perpustakaan Batoe Api di Jatinangor.

Adalah album Raw Power milik band punk pionir/garage-rock The Stooges yang mengubah Aliyuna. Dari mendengar album itu di Perpustakaan Batoe Api, Aliyuna menyadari bahwa ia jauh dari “mengetahui lebih” soal musik. Perjalanan selanjutnya adalah keranjingan musik era 1960–1970 dengan dosis berlebih. Ia jadi lebih menyeriusi musik: mendengar, menyimak, lalu menuliskan catatan atas musik, yang nantinya menjadi buku ini.

Keseriusan Aliyuna terlihat sejak tulisan pertama dalam buku ini, “Legiun Blues Inggris: Dari Idealis hingga Post-Impresionist” (hlm.3–6). Aliyuna menulis interpretasinya atas British Blues,gerakan para musisi blues kulit putih Inggris, utamanya musisi dan penyiar radio BBC, Alexis Korner.

Korner sebenarnya memainkan blues standar. Namun, ia menjadi penting bagi British Blues melalui karya musik, gig di kelab-kelab di London, juga program wawancara para musisi British Blues di radionya. Usaha Korner ini melahirkan banyak musisi yang dari mendengar beberapa nama mereka saja, kita bisa menyadari kehebatan mereka, seperti Eric Clapton, Keith Richard (Rolling Stone), dan Jimmy Page (Led Zeppelin). Yang menarik, Aliyuna membubuhkan aliran Post-Impresionist dari seni rupa untuk menjelaskan interpretasinya atas praktik bunyi Led Zeppelin yang “menggabungkan tradisi blues dengan distrorsi emosional,” — praktik bunyi yang melahirkan heavy metal.

Musik, selayaknya karya seni lain, memang selalu ditafsirkan beragam oleh publik. Interpretasi subjektif atas karya seni adalah keniscayaan. Lalu, muncul pertanyaan: untuk apa ada ulasan musik? Jika memang semua orang memiliki interpretasi, mengapa harus ada seseorang yang ditasbihkan menjadi “jurnalis musik” dan memiliki hak khusus untuk menyampaikan selera dan interpretasinya pada publik?

Aliyuna secara tidak langsung menjawab pertanyaan ini lewat bukunya. Yang dinikmati dari karya jurnalisme musik adalah pendekatan yang digunakan oleh sang jurnalis. Musik, disadari atau tidak, memiliki banyak lapisan yang bisa dikupas dengan beragam pendekatan. Dengan melihat dua unsur musik paling jamak (lirik dan bunyi), kita bisa mengetahui bahwa musik bisa dibahas dari beragam sisi, dan jurnalis musik bekerja untuk mengupas lapisan yang dihadirkan dalam musik yang mereka ulas.

Dari buku ini, kita dapat melihat beragam pendekatan yang dilakukan Aliyuna dalam mengulas musik. Salah satunya dalam esai berjudul “Professor Fripp dan Jukstaposisi Pemikiran (Musik) King Crimson” (hlm.39–47). Di esai ini Aliyuna membahas band mega bintang progressive rock, King Crimson, melalui eksistensi dan kontribusi sang gitaris, Robert Fripp.

King Crimson selama tiga dekade durasi napasnya terus mengalami bongkar-pasang muatan. Keluar-masuk para personel ini terjadi karena perbedaan visi musikal dari masing-masing yang ada di King Crimson. Namun, Robert Fripp, adalah sosok yang selalu hadir di King Crimson. Aliyuna sadar bahwa Fripp adalah arsitek dari band progresif ini.

Robert Fripp adalah sebuah anomali dari stereotipe rock-star yang kita pahami. Ia tidak diberikan anugerah bakat musik (perlu tujuh tahun agar guru gitarnya menyatakan kemampuan Fripp “berkembang”, yang membuatnya menekuni teori musik dari hulu ke hilir). Fripp tidak ketagihan alkohol, narkoba, ataupun seks bebas. Pernyataan Fripp, yang dikutip Aliyuna, bahkan terdengar seperti kutu buku gila: “I have a very modest lifestyle, I don’t have a string of fast cars or fast women, and I don’t take any drugs at all, not even aspirin. My party is: me and books. Me and books and a cup of coffee is an orgy.” (hlm.42). Bagi Fripp, kesadaran yang utuh dapat menghasilkan karya yang sama hebatnya dengan pikiran yang dipengaruhi efek “kapal terbang” zat-zat halusinogen. Dari kesadaran utuh itu, Fripp mengubah perbedaan visi para personel King Crimson menjadi kehebatan band ini. Hasilnya adalah karya yang mengubah lanskap musik rock sejak album debut mereka, In the Court of the Crimson King (1969).

Dalam “Georgia in My Mind: Alih Warna/Alih Media” (hal.119–123). Aliyuna mencatat dan membahas gubahan-gubahan atas lagu “Georgia on My Mind”, musik buatan komponis Hoagy Charmichael dan lirikus Stuartt Gorell, oleh para musisi seperti Spencer Davis, Ray Charles, dan Billie Holiday. Bahkan, diinterpretasikan lebih jauh oleh Rendra dalam puisi Blues untuk Bonnie. Aliyuna menulis bahwa niat awal Charmichael dan Gorell adalah membuat musik manis soal adik Charmichael yang bernama Georgia. Lagu ini lalu diinterpretasikan lebih jauh dan berbeda oleh banyak musisi, juga Rendra yang mengubahnya menjadi puisi lirih soal rasisme atas orang kulit hitam. “Dengan demikian,” tulis Aliyuna, “pengakuan terhadap kehebatan sebuah karya dapat hadir melalui pandangan lain, yaitu ketika ia dapat muncul secara berulang-ulang dalam berbagai bentuk dan ruang-waktu.” (hal.122)

Kegilaan King Crimson, British Blues, juga musisi lain seperti Nick Drake, NEU!, Nirvana, dan The Stooges dicatat oleh Aliyuna dalam 53 esai di buku ini: sebuah kumpulan catatan pendek (kebanyakan tidak lebih dari 6 halaman) atas eksperimentasi gagasan musik selama abad ke-20. Mereka adalah para musisi yang memiliki pengaruh pada perkembangan musik, dan beberapa kurang diterima pada zamannya — bahkan beberapa sampai saat ini kurang terdengar namanya. Mereka adalah orang-orang yang bisa kita kategorikan sebagai “orang gila”.

Dalam lagu All the Madman milik David Bowie (nampaknya lagu ini adalah sumber judul buku), tertulis lirik “They’re all as sane as me” dan “It’s organic minds”. Dalam interpretasi Aliyuna atas lirik lagu ini, kegilaan adalah pemikiran organik yang sebenarnya ada di kepala setiap orang. Yang membedakan adalah seberapa mampu kita menerima dan menikmatinya sebagai anugerah.

Kegilaan itu juga muncul dari Aliyuna. Ia mau dan mampu untuk mendengarkan musik-musik lawas secara serius sambil menggali setiap cerita dan lapisan yang ada di dalamnya — banyak esai di buku ini disertai rujukan pada buku, esai, dan penelitian. Hal yang disayangkan adalah adanya salah ketik pada beberapa esai di buku ini. Ini agak mengganggu pembaca.

Selain itu, mungkin kita akan bertanya: apa pentingnya menuliskan musik atau musisi yang sudah diakui kehebatannya? Saya juga sempat mempertanyakan. Jawaban atas pertanyaan itu terdapat pada sajian tulisan-tulisan di buku ini, yang dengan sangat ambisius mengupas kegilaan dari setiap musik dan musisi yang ada. Sungguh, Aliyuna, kegilaan milik semua orang, terkhusus Anda!

--

--