Jadi, Mengapa Kita Masih Merilis Kompilasi?

Gregorius TH Manurung
5 min readJan 1, 2022

--

Semarang Grindcore Compilation 2021. Sumber: Amazon.com

(Sebelumnya diterbitkan di situs Urbanlooplab.com pada 8 Mei 2021)

Vice pernah menerbitkan laporan berjudul “Sudah Ada Layanan Streaming Musik, Konsep Album Kompilasi Ditaksir Bakal Mati”. Judul provokatif ini nampaknya bisa kita terima sebab setiap hari sudah ada playlist macam “Playlist for You” atau “Gelombang Alternatif” atau “Indienesia” atau “Cadas Bergema” yang dibuatkan layanan digital streaming untuk kita.

Laporan Vice ini sebenarnya berfokus pada album kompilasi “Best of (Sebut satu musisi)”, bukan album kompilasi keroyokan. Namun, basis argumennya dapat kita pakai juga: sudah ada algoritma yang menggantikan peran kurator atau pengulas musik (dalam konteks sebagai consumer guide) dan kompilasi, terutama yang dirilis fisik, sudah tidak menguntungkan secara komersil.

Dua alasan tersebut sangat logis dan dapat diterima di tengah pola konsumsi dan distribusi musik sudah didominasi oleh layanan digital streaming. Namun, saat saya coba menilik ulang, beberapa tahun ini kompilasi masih terus muncul tiap tahunnya. Pada 2018, dirilis The Sound of Young Sumatra (kompilasi indie/twee-pop asal Sumatra). Pada 2019 ada Bandung Essentials (kompilasi musisi/band muda asal Bandung), Primal Decay (kompilasi thrash metal Bandung lintas generasi). 2020 ada The Muddy Banks of Kali-Grunge (grunge Semarang lintas-generasi), Dasawarsa Kebisingan (10 tahun Grimloc Records), Sinar Harapan (kompilasi skena musik Sumatra Utara), Young Sumatra (indie-pop Sumatra). Tahun 2021 yang baru setengah jalan ini sudah muncul tiga kompilasi: Bandung Bawah berisi musisi muda indie pop/rock asal Bandung, Semarang Grindcore yang berisi musisi grindcore lintas-generasi di Semarang, dan Ocean Blender yang beramunisikan generasi hangat shoegazer lokal. Yang saya sebut tadi baru yang tertangkap radar saya dan masih teringat. Saya yakin ada lebih banyak lagi kompilasi yang dirilis.

Pertanyaan besarnya, mengapa kita masih merilis kompilasi?

Kompilasi adalah Tindakan politis (dengan p kecil)

Sejak bisa direplikasi massal, sejarah perkembangan musik adalah sejarah kompilasi. Banyak gerakan, aliran musik baru, atau, sebutlah, skena hadir beriringan dengan munculnya kompilasi. Di Inggris, kaset kompilasi C-86 (1986) hasil kerja sama koran NME bersama beberapa label independen Inggris muncul ke khalayak sebagai penanda gempuran musik indie/twee-pop dan menjadi acuan para penggemar genre musik ini. Selain penandan agresi indie/twee-pop, kompilasi (dan gig rutin perayaannya) membuka ruang pada perempuan untuk terlibat aktif dalam skena musik. “Before C86, women could only be eye-candy in a band; I think C86 changed that — there were women promoting gigs, writing fanzines and running labels,” ucap Martin Whitehead, pengelola The Subway Organization Records, pada The Guardian.

Di Amerika Serikat, kompilasi Deep Six (1986) keluaran C/Z Records membuat musik-musik kotor nan bising karya para musisi bengal Seattle mencuat ke publik yang lebih luas. Kini kita mengenal (dan menggilai) musik mereka sebagai musik grunge.

Di tingkat lokal, kita bisa melihat kompilasi selalu menandai kemunculan gelombang baru (besar ataupun kecil) yang berpengaruh pada perkembangan musik. Yang sangat terkenal tentu saja kompilasi Masaindahsekalibangetpisan (1997), Independent Rebel (1997), dan JKT:SKRG (2004) Band-band independen dan underground yang kini berjaya, hadir sebagai anak bau kencur dalam kompilasi tersebut. Masaindahsekalibangetpisan memuat Burgerkill, Cherry Bombshell, Turtles Jr, Waiting Room, dan lain-lain. Kaset Independent Rebel mengumpulkan karya-karya Forgotten, Jasad, Burherkill, Naked Truth, Beside, dan sebagainya. The Upstairs, Sore, The Adams, Teenage Death Star, Sajama Cut, Seringai, The Sastro, dan sebagainya dan sebagainya mungkin sudah tidak asing sekarang. Dulu, mereka adalah band bau kencur yang dikumpulkan dalam kompilasi JKT:SKRG rilisan Aksara Records.

Tidak bisa dipungkiri bahwa musik adalah arena budaya. Para aktor di dalamnya berebut pengakuan oleh publik untuk bisa dipercayai (atau secara tidak langsung, dipaksa dipercayai) sebagai “band hebat”, “musik keren”, “skena luar biasa”, “label jagoan”, dan lain sebagainya. Sekalipun ada kasus para pelaku musik tidak mencari pengakuan-pengakuan di atas, mereka tetap berada dalam sebuah arena dengan pertarungan memperebutkan ruang untuk berkarya dan berekspresi. Dari praktik-praktik tadi, kita bisa melihat bahwa kompilasi menjadi semacam manifesto bahwa “Kami ada” sekaligus modal (kultural dan sosial) dalam arena pertarungan budaya.

Band-band yang disebut di atas sudah banyak menuai hasil dari manifesto “Kami ada” yang mereka lakukan di akhir 90-an. Panggung-panggung musik saat ini telah mereka kuasai. Kisah awal terbentuk, kegilaan masa muda, trivia proses rekaman, sampai urusan pasangan, sepatu favorit, dan segala tetek bengek soal mereka selalu laris untuk diceritakan. Beberapa dari mereka memang sudah dilipat di lemari arsip atau tidak dikenal luas, tetapi masih sering dikunjungi dan dibicarakan dalam banyak kesempatan.

Namun, jika kembali ke konteks masa kini dan dua poin yang ditulis Vice, kita masih punya pertanyaan: Di tengah pola konsumsi dan distribusi musik melalui layanan digital streaming, mengapa kita masih (harus) membuat kompilasi? Jika seseorang membuat playlist Spotify berisi dan berjudul “Indie-pop Semarang 2020” atau “Grindcore Pedurungan 2021” atau “Koplo Remix Kontemporer Jrakah 1999–2010” dan menyebarkannya, bukan kah itu sudah memberikan sorotan pada musik-musik tersebut?

Soal pendokumentasian karya dan pemberian sorotan memang selesai dalam praktik tersebut. Namun, yang paling menarik dari kompilasi adalah karena ia produk kolektif.

Ketika membicarakan kompilasi keroyokan, jelas tersirat bahwa banyak pelaku yang terlibat di dalamnya. Band, record label, produser, hingga tukang sewa studio dan pendengar terlibat dalam kompilasi. Kompilasi mengisyaratkan interaksi antar band yang terlibat di dalamnya, dan dari interaksi tersebut roda-roda skena bisa bergulir.

Interaksi yang muncul dari bersepakat membuat kompilasi, proses rekaman, proses mixing-mastering, mengumpulkan file WAV, atau ketika nongkrong, bertanya kabar, dan bertukar gelas adalah hal-hal sederhana dalam menjaga hangatnya skena. Saya percaya tidak ada skena yang hidup tanpa adanya interaksi personal antarpelaku. Sederhananya, kompilasi adalah praktik gerak bersama antarpelaku dan skena bukanlah skena tanpa adanya praktik gerak bersama.

Dalam kompilasi From the Muddy Banks of Kali-Grunge (2020) dan Semarang Grindcore (2021), terlihat praktik yang menarik. Band-band dan para pelaku gaek musik Semarang macam Biorre, Big Bomb Beers, Rotten Sexual Organ, AK//47, dan Occupation Decay, bisa berbagi ruang bersama Redam, Siti n Urbaya, dan Aimless. Pengumpulan band lintasgenerasi ini menjadi menarik sebab (saya asumsikan) terjadi interaksi para pelaku antargenerasi dalam pembuatan dua kompilasi tersebut. Dalam interaksi itu, saya rasa terjadi pertukaran gagasan, ide, pengalaman, dan informasi/pengetahuan. Bahkan, dari interaksi antarpelaku tersebut bisa terjadi pertukaran masalah, keresahan, dan kegelisahan atas diri sendiri atau kota tempat tinggal mereka untuk bisa dibicarakan dan direspons bersama. Akan ada pengetahuan, pengalaman, dan kegelisahan yang dibagi, siap direspons, dan siap dikembangkan oleh mereka, baik yang gaek maupun yang bau kencur.

Bagi saya, kesadaran bahwa kompilasi adalah produk kolektif yang membuat kompilasi masih penting dan relevan untuk terus dibuat dan dirayakan. From the Muddy Banks of Kali-Grunge yang begitu bising dan Semarang Grindcore yang penuh blasting menjadi kian nyaring karena dibuat bersama-sama dan tanpa batas generasi. Kudos bagi orang-orang gila yang masih tetap membuat kompilasi!

--

--