Bapak

Gregorius TH Manurung
3 min readJun 19, 2023

--

(Ditulis pertama kali saat mendengar pengumuman Deep Purple hendak menghampiri Indonesia di Instagram. Ditulis ulang dan sedikit disunting)

Sekitar 2013 akhir, saya ikut acara try-out Ujian Nasional (UN) di Gor Pajajaran, Bandung. Saya sedang berada di penghujung masa SMP dan mengikuti beragam try-out adalah kebiasaan siswa-siswi SMP kelas tiga.

Waktu itu saya diantar oleh Bapak. Maklum, saya baru mulai belajar mengandarai motor di kelas 3 SMA.

Selayaknya gelanggang oleh raga di Minggu pagi, ada beragam aktifitas warga kota saat itu. Ada rombongan lansia senam, ada muda-mudi jogging, juga beragam lapak dagangan. Salah satunya pedagang CD bajakan. CD bajakan masih lumrah saat itu; satu CD mengompilasi lagu banyak artis atau hit-hit terkenal sepanjang karir satu artis. Spotify belum masuk Indonesia dan YouTube masih mengizinkan beragam video penuh darah di platform-nya.

Saat saya mau masuk gedung GOR tempat try-out, saya melihat Bapak berdiri di samping lapak CD. Hanya diam, terlihat khusyuk mendengarkan.

Kurang-lebih dua jam berlalu. Saya keluar gedung dan menemukan Bapak masih di lapak CD bajakan itu. Masih mendengarkan.

“Mau jajan?” tawar Bapak. Saya mengangguk, merasa ini kesempatan emas dibelikan apa saja.

“Sebentar, beli kaset dulu,” maksud Bapak adalah CD kompilasi yang sedang diputar. Harga CD itu 25 ribu dan berisi lagu band-band kegemaran Bapak; band rock 70 sampai 80-an yang menemani Bapak selama SMA dan kuliah. Ada Kansas-”Dust in the Wind”, Black Sabbath-”Changes”, dan Deep Purple-”When A Blind Man Cries”.

Sesampai di rumah, Bapak meminjam laptop Abang Jeremi buat memutar CD bajakan itu. Diputar berkali-kali, sambil sesekali menceritakan satu-dua memori masa mudanya yang berhubungan dengan beberapa lagu. Peristiwa ini bertahan beberapa hari ke depan.

Ini bukan hal aneh. Bapak memang sering membagi memori era remaja pada kami, apalagi yang berhubungan soal musik. Salah satunya saat ia bersama tiga kawannya selalu patungan dan berangkat dari Siantar untuk membeli majalah Aktuil. Aktuil itu dibaca bersama, untuk mencari referensi, lalu digilir secara periodik agar bisa lebih leluasa dibaca sendiri.

Di CD bajakan itu ada lagu “Changes” milik Black Sabbath dari album Vol. 4 (1972). Verse pertama masuk, masuk juga cerita Bapak.

Salah seorang dari tiga kawannya itu sering memutar lagu “Changes” di rumahnya di kampung. Berkali-kali sehingga sering didengar adiknya yang masih balita. Sang Adik, tak disangka, menyukai lagu pahlawan Heavy Metal itu — kebetulan memang lagu ini lebih easy listening dibanding kebanyakan katalog Black Sabbath. Si Adik seringkali menyanyikan sendiri lagu itu.

Satu waktu, Bapak bertamu ke rumah kawannya itu. Di sana si Adik menyanyikan lagu “Changes” dengan lantang, dan ya, sesuai kapasitas telinga dan memorinya menangkap lirik bahasa Inggris:

Happy so happy, happy so sad!” Sontak saya, kedua Abang Jeremi, Abang Arno, dan Bapak sendiri tertawa mengisi ruang tamu tempat kami ngobrol.

“Gimana coba happy tapi so sad?” ucap Bapak, diikuti tertawa, gestur yang paling saya ingat dari Bapak.

Deep Purple, Led Zeppelin, dan Black Sabbath adalah puncak musik rock, bagi Bapak. Bukan sepuluh-dua puluh kali Bapak bercerita soal kekagumannya atas tiga grup ini, juga grup rock sejaman.

Bapak bukan orang kaya. Kakek dan Nenek adalah petani biasa di Aekna Tolu, Sumatra Utara. Kebiasaannya mendengarkan dan ngulik musik didapat dari radio dan Aktuil.

Semasa dulu kuliah di ITB (masuk 1979, tapi nggak lulus, hehehe) Bapak punya cara untuk mengakses rilisan-rilisan musik; membangun kedekatan dengan pemilik toko musik Aquarius di depan Taman Flexi, Dago dengan cara sering nongkrong dan main gitar di sana. Dari situ, ia memiliki akses dan izin untuk mendengarkan rilisan-rilisan kaset tanpa perlu membelinya.

Bapak juga bukan pengunjung konser yang ulung. Dari semua ceritanya, seingat saya Bapak baru menceritakan dua pengalamannya nonton konser di Bandung; saat Godbless main di Lapangan Basket ITB dan saat Uriah Heep mampir ke Indonesia di Stadion Siliwangi, Kota Bandung. Duit untuk beli tiket ia dapat dari menabung uang bulanan yang dari sononya sedikit selama beberapa bulan.

Kelas 2 SMP (2012/2013) saya pernah membeli kaset pita Uriah Heep. Kaset bajakan, tentu saja. Saya waktu itu belum punya cassette deck dan memang tidak punya kebiasaan membeli rilisan fisik. Saya tidak sengaja menemukan kaset itu dijual di Facebook dan berminat membelinya dengan alasan ingat bahwa Bapak sangat menggemari grup ini.

Setelah mendapatkannya, saya berbincang dengan Mamah dan Mamah meminta tante yang tinggal di Padalarang untuk mengirim alat pemutar kaset ke rumah. Setelah kaset sampai dan alat pemutar datang, kami mulai mendengarkan Uriah Heep. Bapak, seingat saya, sangat senang. Memutar kaset itu berkali-kali, berhari-hari, entah siang atau sore atau malam, sambil menyesapbeberapa batang Dji Sam Soe kesukaannya.

Saat pertama kali mendengar kabar Deep Purple mau mampir ke Solo, hal pertama yang ada di kepala saya; kalau saya (bareng Abang) membelikan tiket konser Deep Puprple ini, Bapak bakal gimana, ya?

Tembalang, 20 Juni 2023

--

--